Sejak dimulainya era Liga Indonesia di tahun 1994, sejarah beberapa klub sepakbola tanah air pun menjadi rancu. Salah satunya, seperti yang ditulis oleh saudara Tirto Sudiro, tentang Sriwijaya FC sebagai klub siluman, karena sejarah mencatat SFC adalah hasil dari pembelian Persijatim FC, yang tiba-tiba langsung berkompetisi di kasta teratas liga tanah air.
Konsep pembentukan Liga Indonesia (Ligina) adalah menggabungkan klub-klub Galatama (profesional/semi profesional) dengan klub-klub Perserikatan (amatir). Dalam tulisan saya sebelumnya (82 tahun PSSI: Revolusi harga mati), untuk mengikuti Liga Indonesia ini, perserikatan diwajibkan mendirikan klub profesional, terpisah dari induk perserikatannya sendiri. Kerancuan timbul karena nama untuk klub profesional tersebut ternyata hampir semua sama dengan induk perserikatannya. Alasan sejarah klub dan kebesaran nama perserikatan membuat mereka enggan melepaskan nama perserikatannya. Ambil contoh Persema yang mendirikan Malang United untuk berkompetisi di Liga Indonesia. Seiring perjalanan waktu, nama Malang United pun dilepas dan kembali memakai nama Persema dengan alasan tak mampu meninggalkan sejarah perserikatan. Begitu pula dengan Persijatim, yang membentuk Jakarta FC ataupun Persib yang membentuk Persib Maung Bandung.
Selain itu, klub profesional tersebut boleh saja berpindah home base atau bubar. Coba tengok Pelita Jaya. Dalam perjalanannya, Pelita Jaya sering kali berganti nama dan berpindah homebase. Sebutlah Pelita Jaya (Jakarta), Pelita Jakarta (Jakarta), Pelita Bakrie (Jakarta), Pelita Solo (Solo), Pelita Krakatau Steel (Cilegon), Pelita Jaya (Purwakarta), Pelita Jaya Jawa Barat (Bandung), dan Pelita Jaya Jawa Barat (Karawang). Dan kini Pelita Jaya yang sempat memakai nama Pelita Jaya (Lampung) itu kembali bernama Pelita Jaya (tanpa embel-embel kedaerahan).
Yang terkendala masalah finansial memilih bubar, merger atau dijual. Sebut saja Mastrans Bandung Raya, Aceh Putra. Opsi merger dipilih oleh Persisam Samarinda (Persisam perserikatan dan Putra Samarinda Galatama) serta Gresik United (Petrokimia Gresik dan Persegres). Sedangkan opsi dijual ke pihak lain dipilih oleh Persijatim dan Mitra Surabaya.
Terkait dengan Sriwijaya FC, banyak yang berpendapat sejarah Sriwijaya FC adalah sejarah Persijatim. Ketika Persijatim (Jakarta Timur) memindahkan homebase-nya ke Solo sehingga bernama Persijatim Solo FC, Persijatim induknya sebagai Perserikatan (amatir) tetap mengikuti kompetisi amatir (U-18 dan U-15) dalam Zona DKI Jakarta dan bukannya Jawa Tengah. Sehingga ketika Persijatim Solo FC dibeli oleh Gubernur Sumatera Selatan Syahrial Oesman tahun 2004, maka yang dibelinya adalah klub profesional Persijatim Solo FC, bukan Persijatim Perserikatan! Dengan begitu, keberadaan Persijatim sebagai klub profesional telah mati, sedangkan perserikatannya masih hidup. Sehingga, seharusnya sah-sah saja Sriwijaya FC, sebagai kelanjutan dari Persijatim Solo FC melanjutkan kiprahnya di Divisi Utama Liga Indonesia (sebelum muncul Liga Super Indonesia, ini adalah kasta tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia).
Lantas, bagaimana dengan kiprah Persijatim di Divisi I PSSI? Yang berlaga di Divisi I PSSI bukanlah Persijatim, tapi Jakarta Timur FC. Klub ini didirikan oleh Pengcab PSSI Jakarta Timur yang para pemainnya diambil dari kompetisi internal Pengcab PSSI Jaktim. Disinilah kerancuan mulai timbul. Jika Persijatim sebagai klub profesional sudah mati, maka keberadaan Jakarta FC akan mentok di Divisi I (amatir), karena jatah untuk di liga profesional (Divisi Utama/Liga Super) sudah diambil oleh Sriwijaya FC. Sebagai analogi adalah Spanyol. Barcelona B yang berlaga di Segunda Division tidak akan pernah naik kasta meski bisa juara, karena di La Liga sudah ada Barcelona.
Namun, jika Persijatim (sebagai klub profesional) masih hidup, maka nantinya setiap klub amatir/Pengcab PSSI bisa membentuk klub-klub baru untuk kemudian dijual. Misalnya, Persijatim menjual Persijatim Solo FC, kemudian membentuk kembali Jakarta Timur FC untuk berlaga di liga amatir. Ada pula Surabaya Muda yang dibentuk oleh Persebaya (perserikatan) untuk mengarungi Divisi III PSSI.
Contoh paling jelas adalah Pro Duta / Pro Titan. Berawal dari kompetisi internal Persib, Pro Duta (amatir) membentuk Pro Duta (profesional) untuk mengikuti Liga Indonesia. Sejak itu, Pro Duta (profesional) memisahkan diri dari induknya. Memulai kiprahnya di Divisi Tiga Liga Indonesia Zona Jawa Barat Pro Duta berhasil mencapai ke Divisi Satu Liga Indonesia. Sehingga di tahun 2009 Pro Duta SAFC dapat berkompetisi di Divisi Utama Liga Indonesia. Di tahun itu pula Pro Duta dijual pemilik lamanya. Hingga kini, Pro Duta yang berlaga di Divisi Utama PSSI sudah berpindah home base tiga kali. Pertama di Sleman, kemudian dipindahkan ke Medan dengan mengganti nama menjadi Pro Titan, dan terakhir mengambil home base di Deli Serdang untuk mengisi kekosongan aktifitas sepakbola disana karena nonaktifnya PSDS Deli Serdang.
Kembali ke tanah Palembang, sejarah Sriwijaya FC adalah pengulangan sejarah munculnya klub Galatama Kramayudha Tiga Berlian. Di akhir masa jabatannya, Ketua PSSI saat itu, Sjarnoebi Said, memboyong seluruh pemain klub Yanita Utama (Bogor) yang saat itu adalah juara Galatama 1983 dan 1984 dan menggantinya dengan nama Kramayudha Tiga Berlian dengan mengambil home base di stadion Patrajaya Palembang. Kejayaan Yanita Utama, yang saat itu memang diisi dengan pemain-pemain berbakat seperti Elly Idris, Rudy William Keltjes, Joko Malis, Bambang Nurdiansyah, Anwar Umar, dan Maura Helly, lantas dilanjutkan oleh Kramayudha Tiga Berlian yang kemudian menjuarai Galatama edisi 1985 dan edisi 1986/1987.
Mungkin diperlukan buku induk dari PSSI, untuk meluruskan sejarah klub-klub sepakbola tanah air. Supaya tidak timbul kerancuan dan nantinya malah menimbulkan perselisihan mengenai siapa yang berhak berlaga di sebuah kompetisi.
0 comments:
Post a Comment