Kondisi sepak Bola Indonesia semakin semerawut.
Persoalan dualisme kompetisi hingga konflik organisasi yang terus
menjadi-jadi, semakin membuat tidak jelas arahnya sepak bola negeri ini.
Beberapa hari ke depan sepak bola Indonesia pun akan kembali dihadapkan
pada kosa kata yang sudah tak asing lagi, yakni sanksi FIFA.
Sanksi FIFA sejatinya bukan barang baru dalam dunia sepak bola Indonesia. Melalui surat tertanggal 13 Januari 2012 lalu, FIFA sempat meminta agar Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) segera menyelesaikan persoalan dualisme kompetisi sepak bola Indonesia dengan deadline pada Maret.
Sanksi FIFA sejatinya bukan barang baru dalam dunia sepak bola Indonesia. Melalui surat tertanggal 13 Januari 2012 lalu, FIFA sempat meminta agar Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) segera menyelesaikan persoalan dualisme kompetisi sepak bola Indonesia dengan deadline pada Maret.
PSSI dan KPSI memang sempat bersama-sama menandatangani MoU atau nota kesepahaman di markas AFC, Kuala Lumpur, Malaysia, 7 Juni 2012. Namun, hal tersebut seakan diabaikan karena hingga saat ini tidak ada hasil dan langkah nyata ditampilkan kedua kubu yang bertikai itu.
Lihat saja, sering molornya sejumlah rapat Joint Committe (JC) karena KPSI dinilai sengaja mengulur pertemuan tersebut. Belum lagi dengan adanya deadlock saat JC melakukan rapat ketiga tentang masalah harmonisasi tim nasional Indonesia menjelang keikutsertaannya di Piala AFF 2012 November lalu.
Jika sudah seperti ini, anak bangsalah yang akan menjadi korban. Salah satu contoh adalah kegagalan timnas di Piala AFF jelas tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab para pengurus sepak bola yang bertikai itu. Konflik yang tak kunjung usai, membuat Pelatih Nilmaizar kesulitan untuk membangun tim karena KPSI terus melarang klub ISL melepas pemainnya membela skuad Garuda.
Di sisi lain, kubu PSSI sendiri juga
terkesan tidak berusaha membangun persatuan. Mereka dinilai memelintir
kesepakatan di MoU dengan berdasarkan statuta. Padahal, sudah jelas
landasan MoU lebih urgen daripada berkutat pada wacana statuta yang
terkesan manipulatif. Sebagai contoh soal peserta
Kongres Palangkaraya
yang sudah diamanatkan MoU adalah peserta Kongres Solo. Namun, masih
saja dipelintir sehingga memperpanjang persoalan.
Jika PSSI punya itikad baik dengan cara berpegang pada MoU, maka persoalan akan selesai. Demikian juga sebaliknya dengan KPSI.
Atas segala persoalan yang tidak kunjung selesai itu, FIFA akhirnya kembali mengirimkan suratnya tertanggal 26 November yang ditandatangani Sekjen Jerome Valcke terkait penyelesaian dualisme kompetisi maupun kepengurusan organisasi sepak bola Indonesia.
Dalam suratnya, FIFA memberi tenggat waktu kepada Indonesia hingga 10 Desember atau hari ini untuk menyelesaikan berbagai masalah itu. Bila gagal, FIFA akan mengeluarkan sanksi ketika Federasi Sepak Bola Dunia ini menggelar pertemuan di Tokyo, 14 Desember mendatang.
PSSI melalui Sekjen Halim Mahfudz sempat mengaku tidak khawatir jika Indonesia dibekukan FIFA karena tidak menjalankan MoU PSSI dan KPSI. Ia menilai, MoU itu tidak dapat langsung diaplikasikan karena harus melalui perubahan statuta yang lebih dulu akan dibicarakan dalam kongres.
Isi MOU itu antara lain berisi pengembalian empat anggota Komite Eksekutif PSSI yang dipecat, penyatuan liga, dan penyelenggaraan kongres dengan peserta sesuai dengan peserta kongres luar biasa (KLB) di Solo pada 9 Juli 2011.
”Kita tidak masalah dibekukan, dilarang, atau dibubarkan. Kalau buat kami, lebih baik disanksi, tetapi kami tetap melaksanakan statuta daripada kita melanggar statuta dan dibekukan," kata Halim.
"Cobalah lepaskan baju-baju kepentingan golongan masing-masing. (Sepak bola Indonesia) ini sudah darurat dan menyangkut kepentingan negara, jadi harus segera diselesaikan," kata Agung.
Karena masalah itu, KPSI pun berencana untuk membentuk
kongres sendiri di Jakarta, Senin (10/12/2012), yang akan dimotori empat
anggota Eksekutif Komite yang dipecat yaitu, La Nyalla Matalliti, Tony
Apriliani, Erwin Budiawan dan Roberto Rouw. Dengan demikian, kembali
kedua kubu itu jalan sendiri-sendiri dan tidak ada kebersamaan membangun
sepak bola Indonesia.
Melihat sejumlah fakta di atas, maka wajar rakyat Indonesia saat ini sudah bosan dengan aksi pertikaian PSSI dan KPSI yang tidak mengenal kata akhir. Ratusan juta masyarakat juga sepertinya sudah tidak peduli dengan siapa yang akan memenangkan duel perseteruan panjang kedua kubu tersebut.
Semestinya PSSI dan KPSI sadar meskipun ada seribu kali KLB, akan tetap sia-sia jika dendam PSSI dan KPSI itu terus tercipta. Harus ada kebersamaan membangun sepak bola Indonesia dengan hati. Jika kondisinya terus seperti ini, publik sepak bola Indonesia tinggal menunggu reaksi FIFA untuk menjatuhkan sanksi.
Jika kemungkinan terburuk itu terjadi, mungkin saja ada berkah tersendiri bagi sepak bola Indonesia, karena pemerintah dapat dijadikan ajang bersih-bersih menyingkirkan para loyalis politik yang terus mengotori lapangan sepak bola. Toh, jika menilai timnas yang akan dikorbankan, perjuangan mereka juga selalu dijadikan alat permainan dari konflik tersebut sehingga terus tertunduk di podium kekalahan sejak 21 tahun silam.
Karena itu kedua pengurus itu harus menanyakan kepada masyarakat Indonesia, apa yang diharapkan mereka untuk sepak bola? Jawabannya hanya satu, yaitu mendapatkan prestasi, titik! Jika pengurus sekarang terlalu bebal memaknai keinginan itu, semoga nanti generasi baru yang dapat mencetak dan mengelola sepak bola yang lebih memahami keinginan 240 juta rakyat Indonesia.
Melihat sejumlah fakta di atas, maka wajar rakyat Indonesia saat ini sudah bosan dengan aksi pertikaian PSSI dan KPSI yang tidak mengenal kata akhir. Ratusan juta masyarakat juga sepertinya sudah tidak peduli dengan siapa yang akan memenangkan duel perseteruan panjang kedua kubu tersebut.
Semestinya PSSI dan KPSI sadar meskipun ada seribu kali KLB, akan tetap sia-sia jika dendam PSSI dan KPSI itu terus tercipta. Harus ada kebersamaan membangun sepak bola Indonesia dengan hati. Jika kondisinya terus seperti ini, publik sepak bola Indonesia tinggal menunggu reaksi FIFA untuk menjatuhkan sanksi.
Jika kemungkinan terburuk itu terjadi, mungkin saja ada berkah tersendiri bagi sepak bola Indonesia, karena pemerintah dapat dijadikan ajang bersih-bersih menyingkirkan para loyalis politik yang terus mengotori lapangan sepak bola. Toh, jika menilai timnas yang akan dikorbankan, perjuangan mereka juga selalu dijadikan alat permainan dari konflik tersebut sehingga terus tertunduk di podium kekalahan sejak 21 tahun silam.
Karena itu kedua pengurus itu harus menanyakan kepada masyarakat Indonesia, apa yang diharapkan mereka untuk sepak bola? Jawabannya hanya satu, yaitu mendapatkan prestasi, titik! Jika pengurus sekarang terlalu bebal memaknai keinginan itu, semoga nanti generasi baru yang dapat mencetak dan mengelola sepak bola yang lebih memahami keinginan 240 juta rakyat Indonesia.
Sumber : http://www.kompas.com/
>
0 comments:
Post a Comment